Kamis, 19 Februari 2009

Fungsi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah

MEMPERKUAT NEGARA PERSATUAN YANG BERBENTUK REPUBLIK KESATUAN DAN DAERAH OTONOM DENGAN OTONOMI PADA KABUPATEN/KOTA
Dan Memperkuat Fungsi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
Piter M Simanjuntak
______________________________________________________________



I. PENDAHULUAN

Perubahan system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi karena adanya tuntutan rakyat agar kekuasaan yang semula terpusat di Jakarta menjadi tidak terpusat lagi. Pemerintahan yang diharapkan menjadi terbagi; bukan terpusat dan dapat didelegasikan kepada daerah yang selanjutnya akan diatur dengan undang-undang. Perubahan undang-undang yang menyangkut sistem nasional ini tidak dapat terjadi tanpa didahului dengan amandemen pasal-pasal pada undang-undang dasar Negara; yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD ‘45).

Berkaitan dengan gagasan Prof. Buchari Zainun tentang amandemen ke – 5 pasal-pasal pada UUD 1945, kami berpendapat sebagai berikut:
Gagasan yang menyatakan bahwa NKRI adalah negara persatuan yang berbentuk republik kesatuan dapat dijadikan konsep usulan amandemen ke-5 UUD’45. Hal tersebut dilakukan untuk lebih memperjelas bentuk negara. Negara Kesatuan Rrepublik Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Sebagai negara berbentuk republik tidak menjadi persmasalahan dan tidak mungkin diubah bentuknya. Tetapi, sebagai kesatuan, pernah dialami adanya usulan-usulan dari pihak-pihak tertentu yang ingin merubah kesatuannya dengan bentuk federasi, seperti Malaysia, Australia dan Amerika Serikat. Hal itu pernah dialami pada tahun 1949-1950, tetapi hanya berumur satu tahun. Kesatuan bukanlah bentuk, tetapi sifat negara, dan bentuk negaranya adalah Republik. Apabila kita sudah sepakat agar NKRI tetap kuat dan tidak memberikan kesempatan atau peluang sedikitpun untuk bercerai-berai dan tidak bertentangan dengan rumusan Pancasila pada Sila ketiga Persatuan Indonesia, maka Negara republiknya harus ditetapkan adalah Republik Kesatuan; bukan Republic Federasi dan sebagainya, sehingga rumusan pada pasal 1 ayat (1) dapat diusulkan menjadi sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah Negara Persatuan yang berbentuk Republik Kesatuan”.

Gagasan yang menyangkut dengan otonomi daerah yang berbunyi: “Memperkuat Negara Persatuan yang Berbentuk Republik Kesatuan dan Daerah Otonom Dengan Otonomi Satu Tingkat Pada Kabupaten”, secara prinsip dapat difahami, namun dalam penulisannya tidak perlu demikian. Apabila memang hanya satu tingkat saja baik di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten, maka kata-kata “satu tingkat” pada kalimat tersebut tidak perlu dimunculkan, sehingga penulisannya menjadi: “Memperkuat Negara Persatuan yang Berbentuk Republik Kesatuan dan Daerah Otonom dengan Otonomi pada Kabupaten.“ Manajemen Pemerintah NKRI dengan wilayah yang sangat luas dan dengan berbagai keheterogenan spesifikasi – anak – cucu – suku bangsa sampai pada tingkat kabupaten, perlu dipertimbangkan untuk melaksanakan manajemen yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, maka pelimpahan kewenangan untuk mengelola daerah seluas-luasnya dapat diberikan kepada tingkat kabupaten, tidak pada tingkat Provinsi. Apabila ada kabupaten dan kota yang mempunyai nama yang sama, maka itu bergabung menjadi satu nama kabupaten dengan ibukota di “kota” yang sebelumnya. Misalnya: Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon, itu menjadi satu kabupaten dengan nama Kabupaten Cirebon. Kabupaten Cirebon beribukotakan Cirebon yang wilayah kerjanya adalah Kota Cirebon sebelum bergabung. Ibukota kabupaten itulah yang nantinya sebagai penggerak dan pusat pertumbuhan dan perkembangan. Perlu juga dipertimbangkan, apabila ada beberapa kabupaten yang secara kultur, geografi, factor yang dapat memperkuat roda perekonomian, sosial kemasyarakatan dan budaya lokal, serta bebagai pertimbangan lain yang memiliki relative kesamaan atau keselarasan, sangat memungkinkan untuk dapat digabungkan menjadi satu kabupaten. Misalnya: Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon yang dulunya dikenal dengan keresidenan dapat disatukan menjadi Kabupaten Cirebon, dengan Ibukotanya adalah “Kota Cirebon”. Selanjutnya untuk di tingkat provinsi. Provinsi terdiri atas beberapa kabupaten dalam satu komunitas yang “logis” yang dalam berbagai pemikiran mengarah kepada mempermudah, mempercepat, memperjelas dalam rangka memberikan layanan guna memangkas tahapan pencapaian kesejahteraan rakyat. Provinsi merupakan pemerintah pusat regional. Ibukota provinsi yang sekarang ada dapat tetap dijadikan tempat pemerintahan regional. Ibukota kabupaten yang sekarang merangkap sebagai ibukota provinsi dapat dipertimbangkan apakah dijadikan ibukota provinsi atau ibukota kabupaten. Akan lebih baik apabila ibukota provinsi tersebut mencari lokasi baru dengan pertimbangan dapat melayani keseluruh kabupaten yang ada, dengan kata lain ibukota provinsinya berada di tengah-tengan komunitas kabupaten. Dengan demikian, maka penempatan pegawai dan jenjang karier dapat ditetapkan dengan suatu sistem yang nasional. Kemudian dengan pemerintah pusat. Pemerintah pusat terdiri dari Presiden, DPR, Mutasi dapat berlangsung di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah pusat regional. Pendapat Prof. Buchari Zainun,MPA apabila memungkinkan, beberapa provinsi dapat digabungkan, sehingga dapat memperkuat NKRI.

Sejalan dengan gagasan Prof. Bachtiar Zainun, MPA, peran Dewan Perwakilan Daerah sebagai unsur yang dipilih langsung oleh rakyat perlu mendapatkan perhatian. Dari segi akurasinya, mereka benar-benar dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan orang-orang partai mereka ditetapkan oleh partai dengan dipilih secara tidak langsung oleh rakyat. Rakyat hanya memilih tanda gambar dan mereka yang berada pada nomor-nomor awal yang terlebih dahulu mendapatkan kesempatan untuk mewakili rakyat.

II. FUNGSI GUBERNUR HARUS DIPERKUAT

Terkait dengan penyelenggaraan otonomi daerah, fungsi gubernur harus kuat sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, yang fungsinya dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten dan kota. Fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sudah sesuai dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (pengganti UU 22/2004) yang sudah disahkan. Proses Pemilihan kepala daerah secara langsung kiranya dimasa mendatang dapat dijadikan momen yang cukup bagus untuk memunculkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Sejauh ini, memang respons sebagian pengamat dan politisi di DPR cenderung kritis dan bahkan akan menolak rekomendasi atau kajian Lemhanas, Memang dari tinjauan legal-formal, sistem penunjukan langsung bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004, di mana kepala Daerah/wakil Kepala Daerah pada semua level pemerintahan daerah dipilih secara demokratis/langsung oleh rakyat. Lalu dalam konteks otonomi, sistem itu dinilai tak sejalan dengan ikhtiar menempatkan kedaulatan rakyat pada semua proses politik lokal yang menentukan, termasuk ihwal rekruitmen pimpinan daerah.

Perspektif ini menuntut kita untuk tidak sekadar membincangkan soal sistem rekrutmen gubernur, tetapi lebih luas menyangkut arsitektur pembagian kewenangan pusat-daerah, status provinsi dan kedudukan gubernur itu sendiri dalam kerangka otonomi.
Di masa Orde Baru, provinsi dan kabupaten/kota memiliki status ganda sebagai suatu wilayah administratif sekaligus daerah otonom (fused model), sedang gubernur dan bupati/wali kota menjalankan dwi fungsi selaku kepala wilayah merangkap kepala daerah. Namun, sejak berlakunya desentralisasi, kabupaten/kota hanya berstatus sebagai daerah otonom (split model) dan menjadi titik berat pelaksanaan otonomi daerah, dan bupati/wali kota berperan tunggal selaku kepala daerah saja. Status provinsi dan fungsi gubernur masih mewarisi praktik model Orde Baru.

Dalam konteks fused model demikian, gubernur melaksanakan aneka urusan desentralisasi yang menjadi domain fungsinya sebagai daerah otonom dan juga pada sisi lain sejumlah urusan dekonsentrasi dalam kedudukannya selaku wilayah administratif yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Melihat praktiknya selama ini, dwi fungsi gubernur ini ternyata berakibat serius.

Ihwal relasi vertikal dengan kabupaten/kota, misalnya, status provinsi sebagai daerah otonom menyebabkan munculnya tumpang-tindih kewenangan dan bahkan konflik antara provinsi dengan kabupaten/kota. Oleh karena sama-sama daerah otonom, urusan desentralisasi yang dimiliki provinsi tidak berbatas tegas dari urusan sejenis yang terdapat pada kabupaten/kota. Ditambah lagi menurut UU No.22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 antara keduanya tidak memiliki hubungan kewilayahan yang hierarki, sehingga peran evaluasi, monitoring, dan kontrol penyelenggaraan pemerintahan tak selalu efektif.

Belajar dari fakta semacam itu dan berbagai faktor penting lainnya, kami berpendapat dan mengusulkan adanya pilihan model yang tegas dalam status kewilayahan dan kedudukan pimpinan daerah ke depan. Kalau split model telah berlaku pada kabupaten/kota sebagai daerah otonom dan bupati/wali kota selaku kepala daerah yang menjalankan fungsi desentralisasi, model yang sama mesti pula berlaku bagi provinsi, yang dalam hal ini berstatus sebagai wilayah administratif dan gubernur berkedudukan selaku kepala wilayah yang menjalankan fungsi dekonsentrasi dan menjadi wakil pemerintah pusat di daerah yang setingkat dengan Menteri Negara.

Dengan ketegasan pilihan model semacam itu, titik berat desentralisasi/otda benar-benar berada di level kabupaten/kota dan tidak lagi muncul tumpang-tindih kewenangan dengan provinsi yang selama ini masih juga menyandang status daerah otonom yang menjalankan fungsi desentralisasi. Sementara bagi provinsi sendiri, yang ke depan hanya menjadi wilayah administratif, sekurang-kurangnya empat keuntungan berikut bisa diperoleh.

1. Gubernur bisa secara lebih murni menjalankan kewenangan dalam mengontrol proses pemerintahan di kabupaten/kota.
2. Birokrasi provinsi akan menjadi lebih efisien karena hanya membutuhkan sedikit staf dan adanya penghapusan dinas/badan yang selama ini menjalankan fungsi desentralisasi.
3. Konflik kepentingan dengan kabupaten/kota bisa dihindari karena tidak ada lagi dualisme penyelenggaraan fungsi desentralisasi.
4. Tumpang-tindih pelayanan publik bisa dieliminasi karena hilangnya fungsi pelayanan di provinsi (concurrent system) dan sepenuhnya dikonsentrasikan pada kabupaten/kota.


III. KESIMPULAN

Dengan ketegasan pilihan model di atas, konsekuensi pada sistem rekrutmen kepala daerah pun menjadi jelas. Untuk level kabupaten/kota yang menjalankan fungsi desentralisasi dalam kerangka status daerah otonom, pengisian jabatan bupati/wali kota tentu menggunakan sistem pemilihan langsung oleh rakyat (pilkada langsung). Sedangkan untuk level provinsi, yang menjalankan fungsi dekonsentrasi dan menjadi kepanjangan tangan pusat di daerah, menurut hemat kami sistem pengangkatan/penunjukan oleh Presiden adalah konsekuensi elektoral yang logis.
Jika demikian halnya, nanti kita memiliki dua jenis pejabat politik yang diangkat sebagai Pembantu Presiden, yakni para gubernur di lini kewilayahan/regional dan menteri atau pejabat setingkat menteri di lini fungsional. Mereka diharapkan menjadi orang-orang politik yang profesional, yang karier jabatannya ditentukan oleh Presiden yang mengangkat mereka. Dengan demikian, di provinsi tidak ada lagi DPRD yang memang keberadaannya hanya cocok untuk suatu daerah otonom, seperti kabupaten/kota, yang menjalankan fungsi pelayanan masyarakat.

Kajian ini masih perlu dilakukan penelitian dimana cukup terang bahwa semata-mata dari segi sistem pengisian jabatan gubernur melalui pengangkatan oleh presiden bisa mengundang kritik, kesangsian, dan bahkan penolakan dari banyak pihak. Tetapi, dengan cara meletakkannya dalam konteks lebih luas, rasanya bisa mendorong kita ke ranah diskusi yang lebih luas, dan harus dilihat sebagai pintu pembuka menuju arah pembaruan desentralisasi yang lebih bermakna dan efektif, misalnya mekanisme penyaringan calon-calon Gubernur dapat diusulkan oleh Para Bupati Kepala Daerah Tkt II dan anggota DPD dimasing-masing Provinsi dengan memilih 3 (tiga) calon Gubernur kepada Presiden dan Presiden memilih salah satu diantaranya yang dianggap kompeten untuk diangkat menjadi Gubernur Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah setingkat Menteri Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar