Kamis, 26 Maret 2009

PEMIMPIN ATAU KEPEMIMPINAN?

Kepemimpinan Partisipatif, Karismatik dan Transformasional

A. Kepemimpinan dan Teori Organisasi
  1. Awal Studi Kepemimpinan
  • Sebagai motor penggerak berjalannya kegiatan manajemen dan organisasi, faktor pertama perlu diperhatikan yaitu Kepemimpinan yang dalam banyak hal mempunyai berbagai akses kepada pemberdayaan SDM, Sumber-sumber Manajemen, efisiensi dan efektifitas organisasi. Kebanyakan dari teori dan studi tntang kepemimpinan mengambil prospektif yang sempit dan hanya memeriksa sebuah aspek proses tersebut. Termasuk dalam tema penelitian adala mengenai ciri, prilaku, kekuasaan dan pengaruh dan pendekatan-pendekatan situasional dari pemimpin.
  • Beberapa tema penelitian seperti kepemimpinan partisipatif, kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan transformasional, melintasi pendekatan-pendekatan tersebut dari terdiri dari lebih satu variabel. Sebuah teori umum tentang kepemimpinan yang menerangkan semua aspek dari proses tersebut seara mencukupi masih harus dikembangkan. Namun sebuah kerangka kerja konsepsual yang terintegrasi telah disampaikan untuk memperlihatkan hubungan yang mungkin ada diantara jenis-jenis variabel utama menenai kepemimpinan.
  • Orang telah memberikan batasan kepemimpinan dengan berbagai cara selama bebeapa tahun yaitu yang menyangkut sebuah proses yang mempengaruhi sosial, yang disengaja digunakan oleh seseorang terhadap orang lain dalam kaitannya dengan struktur organisasi yang menyangkut hubungan-hubungan dalam sebuah kelompok atau organisasi, namun pemberian batasan itu berbeda dalam banyak aspek termasuk Siapa yang menggunakan pengaruh, tujuan yang diinginkan dari pengaruh, cara bagaimana pengaruh itu digunakan, dan hasil dari usaha mempenaruhi itu. Oleh karena itu tidak ada batasan yang benar sepanjang mengisi ilmu pengetahuan yang dipelejari.
  • Beberapa teoritikus telah mendukung agar dapat mendukung antara isitlah memimpin (Leading) dan mengelola (Manajing) sebagai proses yang terpisah. Kelihatannya perbedaannya cukup sederhana dan tidak perlu dipersoalkan. Tetapi Kepemimpinan dari segi: menginterprestasikan peristiwa-peristiwa, menetapkan jalannya organisasi, membangun komitmen bagi sasaran-sasaran bersama, membantu anggota mengorganisasi dirinya dengan cara yang efisien dan mempertahankan kerjsama antra pribadi pada waktu mereka bekerja mencapai tujuan.
  • Sebagian besar peneliti mengevaluasi efektifitas kepemimpinan dalam hubungannya konsekuensi tindakan pimimpin terhadap pengikutnya dan stakeholder dari organisasi lain namun pilihan dari variabel outcome cukup berbeda dari seorang peneliti ke peneliti lainnya yaitu bagaimana mereka mencerminkan efek langsung dan tak langsung dari pimpinan. Kemudian apakah mempunyai ukuran-ukuran yang subjektif atau objektif. Kriteria yang berkolerasi secara negatif khususnya sangat menganggu karena adanya tukar-menukar (trade off) yang kompleks diantara beberapa outcome. Karena kompleksifitas ini serta preferensi dari berbagai stakeholder untuk kriteria yang representatif harus digunakan didalam penelitian menenai efektifitas mengenai efektifitas kepemimpinan.
  • Sebagian besar teori dan studi tentang kepemimpinan mengambil perspektif yang sempit dan hanya melihat aspek dari proses tersebut, dimana tema penelitian umumnya mengenai ciri, prilaku, kekuasaan dan pengaruh dan pendekatan situasional dari pemimpin.
2. Batasan Kepemimpinan.
  • Pendekatan pemahaman batasan kepemimpinan di mulai dari hal-hal yang umum, kemudian diikuti denan uraian-uraian yang lebih terperinci. Menurut Stephen Robbins memberikan batasan kepemimpinan yang luas yaitu " Kepemimpinan" adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan. Pengaruh ini dapat yang formal maupun yang informal. Yang formal adalah dari tingkat wewenang yang dirancang secara formal, sedang yang informal yaitu kepemimpinan yang tidak didukung oleh kemampuan untuk mempengaruhi apa yang timbul diluar struktur formal organisasi yang sama atau lebih penting dari pada pengaruh yang formal.
  • Pakar lain yaitu Ralph M Stogdill, memberi batasan bahwa kepemimpinan adalah merupakan proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok yang implikasinya antara lain (a) kepemimpinan melibatkan orang lain, karyawan atau pengikutnya (b) melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota kelompok. Adapun dasar sumber kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan menghargai (reward power), kekuasaan memaksa (coersive power), kekuasaan sah (legitimate poiwer), kekuasaan rujukan (referent power) dan kekuasaan keahlian (expert power). (c). kemampuan mengunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mepengaruhi tingkah laku pengikut dengan berbagai cara dan (d) penggabungan ketiga aspek (a),(b) dan (c) dan mengakui bahwa kepemimpinan adalah mengenai NILAI. Menurut Warren Bennis, dimana seseorang bisa menjadi manajer yang efektif, tetapi kurang dalam ketrampilan manajerial untuk menyalurkan energi yang mereka timbulkan dalam diri orang lain. Kebanyakan organisasinya "terlalu banyak dikelola" (overmanaged) dan terlalu sedikit dipimpin (Underlead).
B. Masa Depan Teori Kepemimpinan

  • Penelitian mengenai tingkah laku pemimpin berkembang ke banyak arah. Dalam bagian ini akan diamati kepemimpinan transformasional atau Karismatik dan pembaruan ulang pedekatan tingkah laku akhir-akhir ini, dan kemudian diamati dua tantangan terhadap ide tradisional mengenai kepemimpinan. Namun ada tantangan yang melihat secara skeptis pada kepribadian pemimpin sementara yang lain mengajukan pertanyaan tentang cara bawahan memandang pemimpin mereka.
  1. Kepemimpinan Trasfornasional atau Karismatik adalah:
  • Menantang proses yaitu emncari kesempatan, percobaan dan menambil risiko;
  • Memberi inspirasi visi bersama yaitu mengambarkan masa depan, membantu orang lain;
  • Memungkinkan orang lain bertindak yaitu mempererat kerjasama, memperkuat orang lain;
  • Membuat model pemecahan yaitu memberi contoh, merencanakan keberhasilan kecil;
  • Memberi semanat yaitu mengakui kontribusi individu, merayakan prestasi kerja;
2. Pemimpin Transactional adalah:
  • Pemimpin yang menentukan apa yang perlu dikerjakan bawahan untuk mencapai tujuan, mengklarifikasikan keperluan tersebut dan membantu bawahan menjadi percaya diri bahwa mereka dapat menapai tujuan.
3. Pemimpin Transformational adalah:
  • Pemimpin yang lewat visi dan energi pribadi, memberi inspirasi kepada para pengikutnya dan mempunyai dampak besar pada organisasi mereka (karismatik)
  • Dalam buku Stephen Robbins menambahkan ada dua pendekatan baru yaitu: (1) Teori Atribusi kepemimpinan dan (2) Kepemimpinan Visioner.
  1. Atribusi Kepemimpinan (perhubungan) menghadapi orang-orang yang memahami hubungan sebab akibat, artinya apabila ada peristiwa terjadi mereka ingin menghubungkannya dengan sesuatu. Dalam konteks kepemimpinan, teori ini mengatakan bahwa kepemimpinan aalah sekedar suatu atribusi yang dibuat orang menenai individu-individu orang lain. Dengan menggunakan atribusi para peneliti menemukan bahwa orang menggolongkan para pemimpin yang bercirikan menonjol seperti kecerdasan, kepribadian ramah tamah, ketrampilan verbal yang kuat, keagresifan, pemahaman dan kerajinan. Teori ini pemimpin yang efektif umumnya dianggap konsisten dan tidak goyah dalam keputusan mereka.
  2. Kepemimpinan Visioner adalah merupakan kemampuan untuk menciptakan dan mengartikulasikan suatu visi yang realistik, dapat dpercaya, atraktif tentang masa depan bagi suatu organissi atau unit orga nisasional yang terus bertumbuh saat ini. Visi ini jika diseleksi akan diimplementasikan secara tepat, begitu bertenaga sehingga bisa mengakibatkan terjadinya loncatan awal kemasa depan dengan membangkitkan ketrampilan, bakat dan sumber daya untuk bisa diwujudkan. Selanjutnya mengenai visi dikatakan: "sebuah visi memiliki gambaran yang jelas dan mendorong yang menawarkan suatu cara yang inovatif untuk memperbaiki yang mengakui dan berdasar tradisi serta terkait dengan tindakan-tindakan yang dapat diambil orang untuk merealisasikan perubahan. Visi menyalurkan emosi dan energi orang. Apabila diartikulasikan secara tepat, sebuah visi menciptakan kegairahan sebagaimana yang dimiliki orang pada peristiwa olah raga dan kegiatan pengisi waktu luang lainnya yang membawa energi dan komitmen ke tempat kerja"
  • Bagaimanakah budaya nasional mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan? Adakah dasar biologi untuk kepemimpinan?, dan Apakah ada dimensi moral terhadap kepemimpinan? (Bersambung)




Rabu, 04 Maret 2009

7 (tujuh) Kesalahan Umum Dalam Pembuatan Keputusan Publik

7 (Tujuh) Kesalahan Umum Dalam Pembuatan Keputusan PUBLIK

1. CARA BERPIKIR YANG SEMPIT (COGNITIVE NEARSIGHTEDNESS )

Memenuhi kebutuhan sesaat.
• Hanya mempertimbangkan satu aspek / dimensi masalah.

2. ASUMSI BAHWA MASA DEPAN AKAN MENGULANGI MASA LALU ASSUMPTION THAT FUTURE WILL REPEAT PAST)

• Perubahan dianggap hal normal, yang akan kembali pada keadaan semula.
• Tidak meramalkan / memprediksikan keadaan masa depan.

3. TERLALU MENYEDERHANAKAN MASALAH (OVER SIMPLIFICATION )

Melihat masalah hanya dari gejala luarnya, tanpa mempelajari secara mendalam faktor kausalitasnya.

Teknik pemecahan masalah selalu konvensional, tidak ada inovasi.

4. TERLALU MENGGANTUNGKAN PADA PENGALAMAN SATU ORANG (OVERRELIANCE ON ONE ’ SOWN EXPERIENCE)

Sared decision produces wiser decisions.

5. KEPUTUSAN YANG DILANDASI PRA KONSEPSI PEMBUAT KEPUTUSAN (PRECONCEIVED NATIONS)

6. TIDAK ADA KEINGINAN MELAKUKAN PERCOBAAN (NWILLINGNESS TO EXPERIMENT )

7. KEENGGANAN MEMBUAT KEPUTUSAN (RELUCTANCE TO DECIDE).

RASIONAL KOMPREHENSIF

1. Pembuat Keputusan dihadapkan pada masalah tertentu yang dapat dibedakan / dibandingkan dengan masalah-masalah lain.

2. Tujuan, nilai, dan sasaran yang akan dicapai, harus telah dibuat sebelumnya secara jelas dan ditetapkan rankingnya.

3. Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara seksama.

4. Akibat yang ditimbulkan dari setiap alternatif (cost & benefit), juga diteliti secara cermat.

5. Setiap alternatif dan akibat yang ditimbulkan, dibandingkan satu sama lainnya.

6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif yang paling rasional untuk mencapai tujuan, nilai, dan sasaran yang telah ditetapkan.

KRITIK PEMBUAT KEPUTUSAN SEBETULNYA TIDAK BERHADAPAN DENGAN MASALAH YANG KONKRIT DAN TERUMUSKAN DENGAN JELAS . JUSTRU LANGKAH PERTAMA YANG HARUS DILAKUKAN ADALAH MERUMUSKAN MASALAHNYA .

TERLALU MENUNTUT HAL-HAL YANG TIDAK RASIONAL PADA DIRI PEMBUAT KEPUTUSAN , YANG DIANGGAP MEMILIKI INFORMASI LENGKAP DAN KEMAMPUAN TINGGI.

INKREMENTAL

1. PEMILIHAN TUJUAN / SASARAN MERUPAKAN SESUATU YANG SALING TERKAIT DENGAN TINDAKAN EMPIRIS YANG HARUS DILAKUKAN UNTUK MENCAPAI TUJUAN / ASARAN.

2. PEMBUAT KEPUTUSAN HANYA MEMPERTIMBANGKAN BEBERAPA ALTERNATIF YANG LANGSUNG BERHUBUNGAN DENGAN POKOK MASALAH ; DAN ATERNATIF INI HANYA BERBEDA SECARA INKREMENTAL DENGAN KEBIJAKAN YANG TELAH ADA .

3. BAGI TIAP ALTERNATIF , HANYA SEJUMLAH KECIL AKIABT MENDASAR SAJA YANG AKAN DIEVALUASI .

4. MASALAH YANG DIHADAPI AKAN DIREDEFINISIKAN SECARA TERATUR , DENGAN MENYESUAIKAN TUJUAN / SASARAN DENGAN SUMBER DAYA YANG ADA.

5. TIDAK ADA KEPUTUSAN / C ARA PEMECAHAN YANG PALING TEPAT UNTUK SETIAP MASALAH . YANG PENTING , TERDAPAT KESEPAKATAN TERHADAP KEPUTUSAN TERTENTU .

6. PEMBUATAN KEPUTUSAN BERSIFAT PERBAIKAN KECIL TERHADAP KEBIJAKAN YANG TELAH ADA , DAN BUKAN SESUATU YANG SAMA SEKALI BARU. KRITIK.

Keputusan yang diambil lebih mewakili/mencerminkan kepentingan kelompok kuat/mapan, atau kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat.

Mengabaikan perlunya pembaharuan sosial, karena memusatkan perhatian pada kepentingan / tujuan jangka pendek.

PENGAMATAN TERPADU (MIXED SCANNING)

1. PENGGABUNGAN (KOMPROMI) ANTARA TEORI RASIONAL KOMPREHENSIF DENGAN TEORI INKREMENTAL

2. MEMPERHITUNGKAN TINGKAT KEMAMPUAN PARA PENGAMBIL KEPUTUSAN

3. IBARAT PENGAMATAN DENGAN 2 KAMERA : KAMERA PERTAMA MEMILIKI SUDUT LEBAR YANG SANGGUP MENJELAJAHI SELURUH PERMUKAAN (MASALAH), DAN KAMERA KEDUA MEMFOKUSKAN PENGAMATAN PADA WILAYAH YANG MEMERLUKAN KAJIAN SECARA MENDALAM.


KE-3 MODEL DIATAS TERGOLONG MODEL YANG BERSIFAT PRESKRIPTIF (CARA MENINGKATKAN MUTU KEBIJAKAN ; HASIL /AKIBAT KEBIJAKAN)

KE-4 MODEL DIBAWAH TERGOLONG MODEL YANG BERSIFATDESKRIPTIF (MENGGAMBARKAN BAGAIMANA KEBIJAKAN DIBUAT)

MODEL INSTITUSIONAL FOKUS PERHATIAN : ORGANISASI PEMERINTAH Secara otoritatif, kebijakan publik dirumuskan, disahkan, dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah tersebut.


3 (tiga) CIRI UTAMA KEBIJAKAN MENURUT MODEL INSTITUSIONAL

1. KEBIJAKAN PUBLIK DIPANDANG SEBAGAI KEWAJIBAN HUKUM YANG HARUS DITAATI OLEH SELURUH RAKYAT

2. KEBIJAKAN PUBLIK ITU BERSIFAT UNIVERSAL .

3. HANYA PEMERINTAH YANG MEMEGANG HAK MONOPOLI UNTUK MEMAKSAKAN SECARA SAH MELALUI PENGENAAN SANKSI

MODEL ELIT – MASSA

ADMINISTRATOR NEGARA TIDAK DIPANDANG SEBAGAI ABDI RAKYAT, TETAPI SEBAGAI KELOMPOK KECIL YANG MAPAN (ESTABLISHMENT ). MASSA (RAKYAT ) BERSIFAT PASIF, APATIS, DAN BUTA TERHADAP INFORMASI TENTANG KEBIJAKAN PUBLIK. KEBIJAKAN PUBLIK MENCERMINKAN KEINGINAN DAN NILAI GOLONGAN ELIT, SEHINGGA MAMPU MEMPENGARUHI DAN MEMBENTUK MASSA . DENGAN KATA LAIN, KEBIJAKAN PUBLIK MENGALIR DARI ATAS KEBAWAH (TOP DOWN) KARENA KEBIJAKAN NEGARA DITENTUKAN OLEH KELOMPOK ELIT, MAKA PEJABAT PEMERINTAH HANYA SEKEDAR PELAKSANA KEBIJAKAN.

MOBILISASI VERTIKAL DARI MASSA KE ELIT TERJADI SECARA SANGAT LAMBAT , KARENA MENYANGKUT DIMENSI ARISTOKRASI (GENEALOGIS), STATUS SOSIAL EKONOMI , DSB

.MODEL KELOMPOK

SETIAP ORANG YANG MEMILIKI KEPENTINGAN YANG SAMA MENGIKATKAN DIRI SECARA FORMAL MAUPUN INFORMAL KEDALAM KELOMPOK (INTEREST GROUP)

KELOMPOK INI DAPAT MENGAJUKAN ATAU MEMAKSAKAN KEPENTINGANNYA KEPADA PEMERINTAH . TINGKAT PENGARUH SETIAP KELOMPOK DITENTUKAN O

Piter M Simanjuntak

REORGANISASI DAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI

REORGANISASI DAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DI PUSAT DAN DI DAERAH

(Tinjauan Historis)

Oleh Piter Markus Simanjuntak

I. Jumah Tingkat Pemerintah Daerah.

Reorganisasi dan restrukturisasi organisasi pemerintahan yang dapat dilakukan adalah pada pemerintahan tingkat daerah yaitu dengan mengurangi jumlah unsur dan atau tingkat daerah yang pemerintahannya mempunyai wewenang mengatur kehidupan masyarakat di daerah otonomnya yang mengeluarkan Perda dan keputusan-keputusan.

Pengurangan jumlah tingkat Pemda sejalan dengan gerakan usahawan yang menjadi politik Pemerintah Pusat yang dikenal dengan Deregulasi dan Debirokratisasi. Gerakan politik ini merupakan satu keinginan untuk mengurangi campur tangan Pemerintah dalam berbagai kehidupan masyarakat.

Disadari bahwa adanya peran dan fungsi pengaturan yang harus dilakukan pemerintah, namun dilain pihak cukup kuat pula desakan untuk mengurangi peranan dan fungsi yang dirasakan berlebihan melalui politik deregulasi. Salah satu sebab campur tangan pemerintah itu dirasakan berlebihan karena terlalu banyak unsur-unsur pemerintah dan terlalu banyaknya tingkat atau strata pemerintah yang cenderung mengeluarkan peraturan. Sehingga perlu dipikirkan melakukan suatu perombakan atau perubahan yang mendasar, setidak-tidaknya arahannya mengurangi jumlah unsur dan strata pemerintah yang langsung berwenang dan berkuasa mengatur kehidupan masyarakat.

Yang perlu dipertimbangkan apakah memang benar-benar rakyat di daerah membutuhkan 2 atau 3 tingkat pemerintahan yang otonom berdasarkan azas desentralisasi yaitu Pemda Tingkat I dan II serta Pemerintah Desa seperti yang diatur dalam UU No: 5/74 dan UU No:5/79 yaitu Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa, kedua UU tersebut telah dicabut dan diganti dengan UU No:22/99 dan diganti lagi dengan UU No: 32/2004.

Jadi yang perlu dikaji ulang oleh Generasi mendatang adalah adanya 2 (dua) tingkat Pemerintah Daerah apakah memang dibutuhkan adanya 2 tingkat itu? Apakah tidak cukup 1 saja?. Apabila dibutuhkan 1 tingkat saja tentu yang paling tepat adalah Daerah Tingkat II karena daerah inilah yang paling dekat dengan rakyat untuk melayani masyarakat di daerah yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat dalam rangka demokratisasi pemerintahan. Oleh karena itu sejak sekarang perlu diambil langkah-langkah untuk mempersiapkan daerah itu baik pemerintahannya maupun aparaturnya serta masyarakatnya sehingga pada waktunya nanti benar-benar mampu dan siap untuk mendukung otonomi daerah mereka.

A.. Dekonsentrasi dan Desentralisasi.

UU No 5/74 menetapkan kedua azas tersebut (Dekonsentrasi dan Desentralisasi) sama-sama berlaku bagi Pemerintahan di Daerah baik di Propinsi sebagai Wilayah Administratif yang berperan sebagai Daerah Otonomi Tingkat I, demikian juga halnya dengan Kabupaten/Kotamadya Daerah Otonom Tingkat II. Didalam UU tersebut tidak dinyatakan secara tegas adanya Pemerintahan Wilayah Propinsi maupun Kabupaten/Walikota, akan tetapi hanya disebut secara jelas adalah Pemerintah Daerah Tingkat I dan II dengan sebutan Propinsi Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Yang menjadi petunjuk, adanya 2 pemerintahan (Wilayah dan Daerah) adalah memberlakukan azas Dekonsentrasi dan Desentralisasi secara bersama-sama, demikian pula dengan adanya ke dua pemerintahan wilayah dan daerah tersebut, dimana Gubernur Kepala Daerah dan Bupati/Walikota Kepala Daerah adalah juga Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah Pusat dan Penguasa Tunggal di Daerahnya, bahkan Camatpun Wakil Pemerintah Pusat sebagai Kepala Wilayah yang bukan Kepala Daerah. Secara eksplisit dari titelatur dan nomenklatur unsur pembantu pimpinan yaitu Sekretaris Wilayah Daerah dan Para Asistennya atau Seketaris Wilayah Daerah menggabungkan kedua pemerintahan itu dalam 1 (satu) lembaga. Dari perangkat pemerintahan lainnya ada yang jelas penyebutannya berupa Aparat Daerah seperti Dinas Daerah dan BUMD, namun dahulu yang tidak jelas dari sebutannya adanya peranan ganda yaitu Bappeda, Itwilprop, BKPMD, BP7 Daerah dan lainnya.

Sejauh ini, respons sebagian pengamat dan politisi di DPR cenderung kritis dan bahkan mungkin dapat menolak rekomendasi tersebut. Dari tinjauan legal-formal, sistem penunjukan langsung bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004, di mana kepala/wakepda pada semua level pemerintahan daerah dipilih secara demokratis/langsung oleh rakyat. Lalu dalam konteks otonomi, sistem itu dinilai tak sejalan dengan ikhtiar menempatkan kedaulatan rakyat pada semua proses politik lokal yang menentukan, termasuk ihwal rekrutmen pimpinan daerah.

Perspektif ini menuntut kita untuk tidak sekadar membincangkan soal sistem rekrutmen gubernur, tetapi lebih luas menyangkut arsitektur pembagian kewenangan pusat-daerah, status provinsi dan kedudukan gubernur itu sendiri dalam kerangka otonomi.

Di masa Orde Baru, provinsi dan kabupaten/kota memiliki status ganda sebagai suatu wilayah administratif sekaligus daerah otonom (fused model), sedang gubernur dan bupati/wali kota menjalankan dwi fungsi selaku kepala wilayah merangkap kepala daerah. Namun, sejak berlakunya desentralisasi, kabupaten/kota hanya berstatus sebagai daerah otonom (split model) dan menjadi titik berat pelaksanaan otda, dan bupati/wali kota berperan tunggal selaku kepala daerah saja. Status provinsi dan fungsi gubernur masih mewarisi praktik fused model Orde Baru.

Dalam konteks fused model demikian, gubernur melaksanakan aneka urusan desentralisasi yang menjadi domain fungsinya sebagai daerah otonom dan juga pada sisi lain sejumlah urusan dekonsentrasi dalam kedudukannya selaku wilayah administratif yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Melihat praktiknya selama ini, dwi fungsi gubernur ini ternyata berakibat serius.

Ihwal relasi vertikal dengan kabupaten/kota, misalnya, status provinsi sebagai daerah otonom menyebabkan munculnya tumpang-tindih kewenangan dan bahkan konflik antara provinsi dengan kabupaten/kota. Sebagai sama-sama daerah otonom, urusan desentralisasi yang dimiliki provinsi tidak berbatas tegas dari urusan sejenis yang terdapat pada kabupaten/kota. Ditambah lagi menurut UU No.22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 antara keduanya tidak memiliki hubungan kewilayahan yang hirarkial, sehingga peran evaluasi, monitoring, dan kontrol penyelenggaraan pemerintahan tak selalu efektif.

Belajar dari fakta semacam itu dan berbagai faktor penting lainnya, apa yang disampaikan oleh Prof Dr. Buchari Zainun, MPA selaku Dosen/Guru Besar Universitas Kirsnadwipajana Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi dalam bukunya yang mengusulkan adanya pilihan model yang tegas dalam status kewilayahan dan kedudukan pimpinan daerah ke depan harus didukung oleh semua pihak. Kalau split model telah berlaku pada kabupaten/kota sebagai daerah otonom dan bupati/wali kota selaku kepala daerah yang menjalankan fungsi desentralisasi, model yang sama mesti pula berlaku bagi provinsi, yang dalam hal ini berstatus sebagai wilayah administratif dan gubernur berkedudukan selaku kepala wilayah yang menjalankan fungsi dekonsentrasi dan menjadi wakil pusat di daerah.

Dengan ketegasan pilihan model semacam itu, titik berat desentralisasi/otda benar-benar berada di level kabupaten/kota dan tidak lagi muncul tumpang-tindih kewenangan dengan provinsi yang selama ini masih juga menyandang status daerah otonom yang menjalankan fungsi desentralisasi. Sementara bagi provinsi sendiri, yang ke depan hanya menjadi wilayah administratif, sekurang-kurangnya empat keuntungan berikut bisa diperoleh.

1. Gubernur bisa secara lebih murni menjalankan kewenangan tutelage powernya dalam mengontrol proses pemerintahan di kabupaten/kota.

2. Birokrasi provinsi akan menjadi lebih efisien karena hanya membutuhkan sedikit staf dan adanya penghapusan dinas/badan yang selama ini menjalankan fungsi desentralisasi.

3. Konflik kepentingan dengan kabupaten/kota bisa dihindari karena tidak ada lagi dualisme penyelenggaraan fungsi desentralisasi.

4. Tumpang-tindih pelayanan publik bisa dieliminasi karena hilangnya fungsi pelayanan di provinsi (concurrent system) dan sepenuhnya dikonsentrasikan pada kabupaten/kota.

Pemilihan Gubernur

Dengan ketegasan pilihan model di atas, konsekuensi pada sistem rekrutmen kepala daerah pun menjadi jelas. Untuk level kabupaten/kota yang menjalankan fungsi desentralisasi dalam kerangka status daerah otonom, pengisian jabatan bupati/wali kota tentu menggunakan sistem pemilihan langsung oleh rakyat (pilkada langsung). Sedangkan untuk level provinsi, yang menjalankan fungsi dekonsentrasi dan menjadi kepanjangan tangan pusat di daerah, menurut hemat saya sistem pengangkatan/penunjukan oleh presiden adalah konsekuensi elektoral yang logis.

Jika demikian halnya, nanti kita memiliki dua jenis pejabat politik yang diangkat sebagai pembantu presiden, yakni para gubernur di lini kewilyahan/regional dan menteri atau pejabat setingkat menteri di lini fungsional. Mereka diharapkan menjadi orang-orang politik yang profesional, yang karier jabatannya ditentukan oleh presiden yang mengangkat mereka. Dengan demikian, di provinsi tidak ada lagi DPRD yang memang keberadaannya hanya cocok untuk suatu daerah otonom, seperti kabupaten/kota, yang menjalankan fungsi pelayanan masyarakat.

Pendapat penulis cukup terang bahwa semata-mata dari segi sistem pengisian jabatan gubernur melalui pengangkatan oleh presiden bisa mengundang kritik, kesangsian, dan bahkan penolakan banyak pihak. Tetapi, dengan cara meletakkannya dalam konteks lebih luas, yakni soal arsitektur pemerintahan itu sendiri, sementara pilihan sistem rekrutmen hanyalah konsekuensi lanjutan, rasanya bisa mendorong kita ke ranah diskusi yang lebih luas, dan harus dilihat sebagai pintu pembuka menuju arah pembaruan desentralisasi yang lebih bermakna dan efektif.

B. Otonomi Hanya Bagi Daerah Tingkat II.

Dengan usul bahwa hanya Daerah tingkat II saja yang otonom, maka tentunya daerah tingkat II yang ada sekarang akan menyusut bahkan menghilangkan otonomi pada daerah tingkat I, tampaknya ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa otonomi bukan saja dititikberatkan pada daerah tingkat II, namun dalam waktu yang bersamaan tidak mungkin seluruh daerah tingkat II mempunyai kemampuan dan potensi yang memadai untuk mengemban otonomi. Yang perlu segera dipertimbangkan atau direalisasikan untuk mendukung pemberian otonomi adalah UU yang mengatur sumber-sumber pendapatan bagi daerah otonom sebagai pengganti UU yang ada yaitu yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan sekarang ataupun di masa depan.

Karena tidak semua daerah tingkat II mempunyai potensi terutama potensi ekonomi dan sumber daya manusia, maka untuk mendukung otonomi Nyata yang bertanggungjawab dapat diambil langkah dengan memberikan otonomi hanya kepada daerah-daerah yang sudah siap saja, sedangkan yang belum siap berotomi dapat ditempuh:

  1. Bergabung dengan daerah tingkat II lainnya;
  2. Ditargetkan dalam jangka waktu tertentu untuk diserahi otonomi yang benar-benar nyata dan bertanggungjawab, dan apabila tidak mampu, digabung dengan daerah lainnya atau dijadikan daerah binaan.
  3. Langsung saja dijadikan wilayah administrasi otonomi sama sekali.

Dengan pemikiran tersebut, dengan otonomi yang demikian pada daerah tingkat II terdapat pula beberapa implikasi baik terhadap pemerintah pusat maupun Pemerintah Tingkat I, yaitu pepanjangan aparatur pemerintah tingkat atas berupa Kantor-kantor Departemen dan beberapa Cabang Dinas dari Daerah Tingkat I yang ditempatkan di Daerah Tingkat II. Akan tetapi dapat dikecualikan dari pengalihan itu beberapa aparatur pusat tertentu yang bertugas di Pertahanan Keamanan, Pengadilan, Keuangan dan Pengawasan, namun cukup berdomisili hanya sampai di Propinsi saja.

C. Provinsi sebagai Daerah atau Wilayah Administrasi.

Jika hanya otonomi didaerah tingkat II, maka , perlu memikirkan satu terobosan yang cukup mendasar dan penuh arti yaitu Provinsi semata-mata hanya sebagai Wilayah atau daerah Administrasi saja.

Dari segi upaya memperkuat Persatuan NKRI, konsep ini mempunyai relevansi yang sangat tinggi, Perasaan kesatuan dalam rangka wawasan Nusantara akan semakin lebih dominan dari pada perasaan ”kedaerahan” yang kadang-kadang ditumpangi oleh perasaan ”kesukuan”.

Perubahan yang mendasar akan tejadi apabila Provinsi hanya dijadikan Daerah atau wilayah/administrasi, bukanlah pengertian memperkuat sentralisasi, justru sebaliknya dari keadaan yang sekarang masih terlalu bersifat sentralisasi, tetapi diarahkan yang benar-benar berdasarkan Dekonsentrasi, yang berarti azas dekonsentrasi ditempatkan pada Provinsi dan Desentralisasi diletakkan pada Kabupaten/Kota.

Sebagai bagian Integral dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Wilayah Provinsi dipimpin oleh Gubernur Kepala Wilayah, dan bertangungjawab kepada Presiden. Perubahan pola Departemen kearah Kantor Menteri dan perubahan posisi Propinsi menjadi Wilayah Administrasi saja. Implikasinya akan terjadi seluruh instansi vertikal di wilayah provinsi dialihkan kedudukannya yang secara struktural berada langsung dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur Kepala Wilayah dan seluruh otonomi daerah tingkat I diserahkan kepada Daerah Otonomi yang baru yaitu tidak hanya menerima urusan untuk menjadi urusan rumah tangga daerahnya tetapi juga memperoleh kekuatan yang baru berupa seluruh aparat otonomi yang berasal dari tingkat I berikut sumber pendapatan asli daerahnya yang berasal dari perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga sumber-sumber pendapatan, tidak perlu lagi dibagi antara Daerah Tingkat I dan II dengan adanya hanya satu tingkat Daerah otonomi yaitu di tingkat II.

II. ALOKASI APBN BERDASARKAN WILAYAH

Jika tubuh Pemerintah telah berubah sedemikian rupa, dimana Departemen tidak seluruhnya lagi mempunyai Kantor Wilayah di Propinsi dan Kantor Departemen ada di Kabupaten/Kota, dimungkinkan APBN pun akan berubah sistim alokasinya, dimana orientasi sektoral yang pertanggungjawabannya diletakkan kepada Departemen-departemen yang dapat diarahkan kepada sistim alokasi yang berorientasi regional atau wilayah. Gubernur sebagai Kepala Wilayah yang merupakan bagian Pemerintah Pusat dengan seluruh jajaran kewilayahan di Propinsi menjadi penangungjawab dari bagian terbesar alokasi APBN.

Bagian terkecil dari APBN dialokasikan di Pusat Pemerintahan kepada Kantor-kantor Menteri dan Lembaga Pemerintah Non Departemen dalam rangka pelaksanan tugas pokok Pemerintahan sebagai unsur Pembantu Presiden, dengan tugas-tugas Penganalisaan, Pengembangan sistim dan standar perencanaan politik, pengendalian dan pengawasan. Wewenang politik publik pemerintahan sepenuhnya hanya berada di tangan Presiden, yang berarti wewenang pengaturan yang ada di Pusat hanya ada pada Presiden dan didaerah hanya ada Kepala Daerah Otonomi yang baru.

III. KESIMPULAN DAN PENDAPAT.

Mengacu dari ketentuan serta pengarahan oleh Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973, dan sesuai dengan ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menghendaki:

1. Dilaksanakannya atas desentralisasi, azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam penyelengaraan pemerintahan di daerah.

2. Dilaksanakannya prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dalam pemberian otonomi kepada daerah.

3. Diwujudkan peletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II.

Ketiga hal tersebut secara juridis formal dan serentak dimulai pada tanggal 23 Juli 1974, namun sampai memasuki tahun1992 belum dapat terlaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk mengatasi hal tersebut maka Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 mulai diterapkan pada tahun 1992 yaitu peraturan pemerintah nomor 45 tahun 1992 tentang penyelengaraan otonomi daerah dengan titik berat pada daerah tingkat II. Serta dalam beberapa kurun terakhir, Undang-Undang mengenai Otonomi daerah mengalami perkembangan dan perubahan yang sesuai dengan perkembangan zaman. antara lain mengatur tentang calon independent dalam Pilkada yang mengalami revisi. Revisi UU Pemda tentang aturan calon independent dalam Pilkada yang dilakukan DPR adalah UU No.32/24.

Berdasarkan uraian, maka pemberdayaan masyarakat melalui aktualisasi partisipasi dalam pembangunan sesuai tuntutan otonomi daerah di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

(1) . Krisis multidimensi yang sangat berat yang dihadapi Indonesia sekarang, umumnya bermuara kepada rendahnya kualitas SDM, terutama masyarakat lapisan bawah. Kualitas SDM yang rendah, memiliki implikasi terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, terutama kemampuan berdemokrasi dan melaksanakan reformasi. Karena itu, upaya-upaya pemberdayaan masyarakat bersama-sama elit politik baik pada lembaga eksekutif maupun legislatif perlu melakukan reformasi memecahkan persoalan, terutama mampu berkompetisi dalam konteks kerjasama dalam era globalisasi.

(2) Alokasi anggaran yang lebih besar di dalam APBN Tkt.II merupakan upaya pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat diharapkan dapat dan mampu mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Untuk mencapai taraf ini, perlu dilaksanakan community education secara berkesinambungan. Dengan demikian, implementasi otonomi daerah merupakan suatu janji sekaligus tantangan. Ia menjanjikan masyarakat madani yang bebas, bekerja sama, mampu memerintah diri sendiri, religius, berkeadilan sosial, parsipatif dalam pembangunan, memiliki hak equal opportunity untuk berkarya dan berkembang. Akan tetapi otonomi daerah juga merupakan tantangan bagi masyarakat, karena keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan otonomi daerah bertumpu pada pundak warga masyarakat. Namun demikian, kita tidak perlu berkecil hati apabila banyak kesulitan yang dihadapi pada fase permulaan. Pepatah klasik mengatakan All the beginning is difficult.